Secara
umum, kerontokan bakal buah pasca persarian bunga, disebabkan karena beberapa
faktor :
1. Kerontokan karena faktor fisiologis kimiawi :
1. Kerontokan karena faktor fisiologis kimiawi :
Kandungan nutrisi, khususnya hara fosfat (P) dan kalium
(potassium = K) yang terbatas dalam tanah atau media tanam tabulampot menjadi
faktor penyebab utama kerontokan bunga dan bakal buah atau buah yang sedang
mengalami proses pembesaran. Jika kandungan kalium dalam tanah sangat terbatas,
maka kerontokan buah akan menjadi lebih banyak. Kerontokan buah ini akan
semakin parah jika pasokan air dari dalam tanah ke tanaman juga terbatas. Jika
kerontokan buah disebabkan oleh faktor malnutrisi kalium, maka pemberian pupuk
kalium, baik dalam bentuk tunggal (Kalium Chloride, KCl) maupun dalam bentuk
majemuk (Kalium nitrate, KNO3) dapat menjadi solusi untuk mengatasi kerontokan
buah. Pemberian pupuk yang mengandung kalium harus dilakukan seawal mungkin,
sebelum pembungaan berlangsung dan pasca persarian selesai sehingga pemanfaatan
unsur hara oleh tanaman dapat terjadi secara optimal. Pada beberapa kasus,
pemberian pupuk fosfat yang dikombinasikan dengan kalium (pupuk MKP, mono
kalium phosphate, KH2PO4 misalnya) sangat membantu tanaman untuk berbunga dan
berbuah dengan normal karena pasokan kalium diberikan dalam jumlah lebih
sedikit, namun diberikan bersamaan dengan pemberian fosfat yang sangat
dibituhkan tanaman saat memasuki periode vegetatif untuk berbunga dan berbuah.
Pasokan air sebagai salah satu komponen utama dalam proses fotosintesis juga
akan sangat membantu mencegah timbulnya masalah kerontokan bakal buah. Pasokan
air yang cukup jangan diartikan bahwa tanaman harus mendapatkan air dalam
jumlah berlebihan, namun harus dimaknai bahwa kondisi tanah di sekeliling media
tanam haruslah selalu berada dalam keadaan lembab (bukan becek, apalagi
tergenang), untuk memastikan bahwa pasokan air selalu tersedia saat dibutuhkan
oleh tanaman untuk proses persarian, pembesaran dan pemasakan buah.
Ketersediaan kalium dan fosfat yang baik akan lebih bermakna bagi tanaman jika
ketersediaan air juga mencukupi, sehingga proses pembentukan dan pengisian buah
akan berlangsung dengan baik pula.
2. Kerontokan karena faktor biologis :
Pasca persarian bunga, seharusnya diikuti oleh pembentukan bakal
buah yang akan berkembang menjadi buah sempurna, namun sering terjadi bakal
buah rontok karena terserang beberapa jenis hama maupun penyakit buah.
Hama-hama ini umumnya menyerang, dimulai pada saat pembentukan kelopak bunga
hingga pembentukan bakal buah pasca persarian bunga. Beberapa hama berwujud
ulat yang memakan bakal buah yang baru terbentuk, hama penggerek berupa
serangga yang menghisap cairan sel bakal buah yang baru terbentuk, serta beragam
jenis kutu penghisap cairan sel yang mengeluarkan sejenis madu yang disukai
oleh semut. Simbiosis antara kutu dengan semut ini menimbulkan gejala lapisan
hitam (embun jelaga) di sekujur bakal buah dan daun di sekelilingnya. Selain
merusak buah muda, tampilan tanaman secara keseluruhan juga menjadi jelek
karena lapisan jelaga hitam terlihat mengotori tanaman. Selain itu, jelaga
hitam juga menghalangi daun tanaman untuk berfotosintesis dengan normal, dan
mengurangi jumlah fotosintat yang terbentuk untuk disimpan sebagai cadangan
bahan kering (biomassa) di dalam tubuh tanaman.
3. Kerontokan karena faktor fisik :
Di musim penghujan dengan curah hujan yang tinggi, yang
mengguyur terus-menerus dengan intensitas jangka waktu panjang, menjadi
penyebab utama rontoknya bunga atau bakal buah pasca persarian. Dalam kondisi
basah, benangsari (alat kelamin jantan pada bunga) lengket satu sama lain
karena terikat oleh air, benangsari tidak bisa bertemu dan membuahi kepala
putik (alat kelamin betina pada bunga). Sebaliknya di musim kemarau, suhu panas
yang ekstrim disertai dengan pengaruh kelembaban yang rendah di siang hari,
juga menjadi faktor fisik penyebab kegagalan persarian, karena pada suhu
ekstrim, viabilitas atau daya hidup dan vigor benangsari menjadi sangat rendah
(singkat) sehingga sulit bagi benangsari untuk tetap viabel dan membuahi kepala
putik. Akibat kedua penyebab utama ini, bunga akhirnya layu dan gagal membentuk
bakal buah karena proses persarian bunga tidak berlangsung secara normal.
Selain faktor-faktor
tersebut di atas, pada tanaman-tanaman tertentu, terdapat selisih waktu yang
cukup nyata antara pemasakan benang sari (alat kelamin jantan) dan kepala putik
(alat kelamin betina), artinya, benang sari masak lebih awal atau bahkan masak
lebih lambat dari masaknya kepala putik. Perbedaan waktu pemasakan inilah yang
menjadi penyebab kegagalan persarian pada tanaman karena benang sari tidak
dapat membuahi kepala putik. Akibatnya, bunga langsung layu beberapa waktu
setelah bunga mekar. Pemberian beberapa senyawa kimia, misalnya gibberelic acid (GA3),
dapat merangsang terjadinya pemasakan benangsari yang serempak dengan pemasakan
kepala putik atau sebaliknya, yang bertujuan untuk meningkatkan persentase
keberhasilan persarian/pembuahan dan pada akhirnya akan meningkatkan pula
persentase bunga menjadi bakal buah. Aplikasi GA3 konsentrasi sangat rendah
(misalnya, kurang dari 200 ppm/bpj : bagian per juta) dapat dilakukan sebelum
atau pada saat masa pembungaan berlangsung, diaplikasikan dengan cara
penyemprotan bakal bunga maupun dengan cara pengocoran ke akar tanaman, akan
sangat tergantung kepada jenis tanaman yang diperlakukan.
Pada beberapa tanaman, kegagalan persarian bunga dan tentu saja tidak akan diikuti oleh pembentukan bakal buah juga bisa terjadi karena ketidak hadiran serangga penyerbuk (entomogami), sehingga relatif sulit bagi benang sari bunga untuk menyerbuki kepala putik. Peranan angin sebagai salah satu penyebab terjadinya persarian bunga (anemogami) juga minimal, sehingga perlu dilakukan penyerbukan buatan dengan bantuan tenaga manusia, contoh pada tanaman panili, beberapa varietas salak, serta varitas buah naga. Benangsari dari bunga yang mekar diambil menggunakan kuas dan benangsari yang terkumpul kemudian dikuaskan ke kepala putik saat kepala putik siap untuk dibuahi, sementara pada salak diambil bunga jantan yang matang dan dilekatkan sambil dioles-oleskan ke bunga betina agar terjadi persarian atau perkawinan. Dengan proses artifisial ini diharapkan terjadi persarian bunga dan dari persarian tersebut tentu saja diharapkan muncul bakal buah yang akan berkembang menjadi buah sempurna. Tanpa persarian buatan, bunga akan mekar lalu kemudian layu dan rontok begitu saja.
Pada beberapa tanaman, kegagalan persarian bunga dan tentu saja tidak akan diikuti oleh pembentukan bakal buah juga bisa terjadi karena ketidak hadiran serangga penyerbuk (entomogami), sehingga relatif sulit bagi benang sari bunga untuk menyerbuki kepala putik. Peranan angin sebagai salah satu penyebab terjadinya persarian bunga (anemogami) juga minimal, sehingga perlu dilakukan penyerbukan buatan dengan bantuan tenaga manusia, contoh pada tanaman panili, beberapa varietas salak, serta varitas buah naga. Benangsari dari bunga yang mekar diambil menggunakan kuas dan benangsari yang terkumpul kemudian dikuaskan ke kepala putik saat kepala putik siap untuk dibuahi, sementara pada salak diambil bunga jantan yang matang dan dilekatkan sambil dioles-oleskan ke bunga betina agar terjadi persarian atau perkawinan. Dengan proses artifisial ini diharapkan terjadi persarian bunga dan dari persarian tersebut tentu saja diharapkan muncul bakal buah yang akan berkembang menjadi buah sempurna. Tanpa persarian buatan, bunga akan mekar lalu kemudian layu dan rontok begitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar